Perang Dunia 3 di Depan Mata! Putin Perkasa - Kekuatan Eropa Menciut
Saturday, July 13, 2024
Jakarta - Ketegangan antara Rusia dan Ukraina dirasa sebagian analis sebagai pintu menuju Perang Dunia Ketiga (PD 3). Hal ini disebabkan keterlibatan beberapa negara Barat anggota aliansi militer NATO untuk memberikan bantuan kepada Ukraina.
Sejumlah propaganda nuklir pun telah dilemparkan oleh Moskow. Mereka menyebut senjata berbahaya itu akan diluncurkan bila memang Barat memiliki intervensi langsung di Ukraina yang membahayakan wilayahnya.
Sejarawan militer Jenderal Sir Patrick Sanders mengungkapkan bahwa kengerian perang ini sudah nampak di depan mata. Sejumlah analisis yang menyebut potensi kekalahan Rusia di jangka panjang menimbulkan persepsi bahwa Presiden Rusia Vladimir Putin mungkin akan mengeluarkan senjata itu bila diperlukan.
"Negara-negara Barat hanya mempunyai waktu sampai akhir dekade ini untuk mempersenjatai diri secara memadai untuk menangkal serangan Rusia di wilayah NATO yang akan memicu serangan Rusia terhadap negara-negara NATO," ujarnya kepada Daily Mail, Jumat (12/7/2024).
Sejak awal perang, Patrick Sanders mengungkapkan bahwa propaganda Moskow telah mempersiapkan rakyat Rusia untuk menggunakan senjata nuklir. Hal ini menjadi ancaman besar bagi negara-negara NATO, khususnya yang bertetangga dengan Rusia dan Ukraina seperti Lithuania dan Polandia.
Bulan lalu, seorang analis militer mengatakan kepada stasiun televisi Russia-1, bahwa 'hanya dalam 10 atau 15 menit' 30 hingga 40 nuklir Rusia dapat 'membuat negara Polandia dan rakyat Polandia lenyap'.
"Sebagai seseorang yang menghabiskan tiga dekade meliput konflik di seluruh dunia sebagai koresponden asing sebelum menjadi sejarawan militer, saya sangat berpandangan bahwa dalam keadaan terpojok Putin mampu melakukan apa pun," tambahnya.
Putin yang makin kuat
Rusia terus memainkan peran dalam panggung global di tengah tekanan yang dialamatkan kepada negara itu dari kelompok Barat pimpinan Amerika Serikat (AS). Saat ini, Kremlin terus memperkuat aliansinya dengan Iran, India dan China.
Pekan ini, China telah mengirimkan pasukannya ke wilayah Belarus, yang notabenenya adalah proksi dan satelit dari Rusia. Hal ini dilakukan untuk mengikuti latihan terorisme bersama setelah Minsk baru-baru ini resmi menjadi anggota Organisasi Kerjasama Shanghai (SCO).
Di momen yang hampir bersamaan, Perdana Menteri India Narendra Modi, pemimpin negara demokrasi terbesar di dunia dan secara tradisional merupakan sahabat Barat, menyambut Putin dengan pelukan ketika dia tiba di Rusia untuk kunjungan kenegaraan dua hari. Momen ini diketahui membuat Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky kesal.
"Putin percaya bahwa negara-negara demokrasi tidak bisa berjalan lama dan konsensus kasar yang telah dipertahankan Eropa dan Amerika sejak pecahnya perang Ukraina cepat atau lambat akan hancur. Waktu, dia yakin, berpihak padanya," papar Patrick Sanders lagi.
Erosi kepemimpinan Barat
Di saat Putin percaya diri dan membangun kekuatan, Barat dinilai mulai mengalami erosi kekuasaan. Pakar kebijakan di Dewan Hubungan Luar Negeri Eropa, Hugh Lovatt, Editor keamanan dan pertahanan Sky News, Deborah Haynes, serta pengamat dari The Diplomat ,Michael Vatikiotis, disebutkan telah memberi penjelasan bahwa hal ini sedang terjadi.
Setelah perang di Ukraina, Eropa mulai membahas risiko keamanan lebih dari sebelumnya, dengan negara-negara yang sebelumnya netral seperti Swedia dan Finlandia bergabung dengan NATO setelah perdebatan yang signifikan. Situasi di Gaza juga memicu perdebatan besar di Eropa.
Lovatt menyatakan bahwa konflik-konflik yang terjadi di dunia saat ini bersifat terpisah dan tidak berhubungan, dengan alasan bahwa ketegangan di berbagai kawasan seperti Ukraina, Timur Tengah dan Asia-Pasifik tidak berhubungan langsung. Namun, ia menambahkan bahwa situasi ini menimbulkan risiko yang signifikan bagi komunitas internasional, khususnya bagi Inggris.
"Walaupun penilaian Lovatt yang menyatakan bahwa konflik-konflik tersebut tidak berhubungan secara langsung adalah penting, cara para aktor diposisikan di wilayah-wilayah yang relevan sebenarnya mengungkapkan realitas polarisasi baru di dunia," tulis pengamat geopolitik Fatih Fuat Tuncer dalam kanal Daily Sabah.
Tuncer menuliskan bahwa analisa Haynes yang menyebut perang Israel dan Gaza yang menarik Iran telah memperdalam krisis dan mengubah konflik regional menjadi konflik global. Pasalnya, Barat masih terus membela Israel dengan pelanggaran yang dilakukan Negeri Zionis itu.
"Saat mengevaluasi situasi saat ini, mereka mengabaikan serangan Israel, yang melanggar semua hukum internasional, dan menganggap Iran bertanggung jawab penuh," ungkapnya.
Lebih lanjut, Tuncer mengutip analisis mencolok lainnya yang dijelaskan Vatikiotis. Dalam analisisnya, Vatikiotis menyatakan bahwa "tatanan berbasis aturan" yang dipimpin oleh Barat sedang melemah dan terdapat ketidakpastian tentang apa yang akan menggantikannya.
"Analisis tersebut menyoroti sikap tidak bertanggung jawab Israel terhadap hukum internasional sekaligus menekankan bahwa ketidakpastian dan pengabaian aturan di arena internasional dapat menyebabkan konflik besar," tutur Tuncer.
Sumber : CNBC