Sri Mulyani Keluarkan 2 Jurus Selamatkan Sritex Cs dari Tekstil China
Wednesday, June 26, 2024
Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati akan menerbitkan jurus baru untuk membantu sejumlah industri tekstil dalam negeri seperti Sritex Cs dalam menghadapi serbuan tsunami tekstil impor, salah satunya dari China.
Jurus berbentuk peraturan menteri keuangan soal pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) dan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) untuk sejumlah komoditas, khususnya tekstil.
Sri menyebut langkah itu dilakukan sebagai respons atas permintaan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita.
"Jadi Permenkeu akan keluar berdasarkan permintaan beliau (Menperin) dan Menteri Perdagangan. BMPT dan BMAD seterusnya akan di-follow up berdasarkan permintaan Mendag dan Menperin," kata Sri di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (25/6).
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan menyebut nantinya BMAD dan BMPT tidak hanya akan dikenakan terhadap produk tekstil saja. Melainkan untuk barang elektronik, alas kaki hingga keramik.
Sebab BMTP dan BMAD dinilai dapat melindungi industri Indonesia yang mengalami kerugian akibat maraknya aktivitas impor.
"Semua dikenakan BMTP dan dia anti-dumping sekalian," ujar Zulhas.
Sementara untuk merumuskan perlindungan pelaku industri tekstil lokal dalam jangka panjang, ia mengatakan Kementerian/Lembaga terkait masih membahas soal revisi permendag.
Solusinya, salah satunya mengembalikan aturan ke Permendag Nomor 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. Adapun Permendag itu merupakan perubahan ketiga dari Permendag 36 Tahun 2023 sebagai upaya mengatasi penumpukan kontainer di pelabuhan.
"Usulan kementerian perindustrian apakah kembali ke Permendag 8, atau apakah susun aturan baru, nanti kami akan berunding lebih lanjut," ujarnya.
Industri tekstil di Tanah Air tengah merana. Hal ini diketahui dari pernyataan Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN).
Organisasi itu menyebut kinerja penjualan mereka lesu belakangan ini. Presiden KSPN Ristadi menyebut tingkat pesanan yang masuk ke sejumlah pabrik tekstil di Indonesia terus menurun.
Lara pabrik tekstil menjalar. Maklum, imbas lesunya penjualan itu, mereka harus melakukan efisiensi, dengan salah satunya melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pekerja.
KSPN mencatat sekitar 13.800 buruh tekstil sudah terkena PHK dari Januari 2024 hingga awal Juni 2024 imbas masalah itu.
Ristadi menuturkan data PHK yang terjadi di Jawa Tengah lebih masif. Ia mencatat pabrik-pabrik yang terdampak, misalnya di grup Sritex.
Ia mencontohkan tiga perusahaan di bawah grup Sritex yang mem-PHK sejumlah karyawannya. Ada PT Sinar Pantja Djaja di Semarang, PT Bitratex di Kabupaten Semarang, dan PT Djohartex yang ada di Magelang.
Masalah pun diakui Direktur Keuangan PT Sri Rejeki Isman (Sritex) Weilly Salam. Ia blak-blakan soal kondisi sulit yang dialami perusahaan.
Blak-blakan ia berikan di tengah isu bangkrut yang melanda Sritex. Ia membantah Sritex bangkrut.
Meski demikian, Welly menuturkan saat ini kondisi industri tekstil sedang tidak baik-baik saja. Hal itu terjadi buntut kondisi geopolitik dan banjir barang murah dari China.
"Kondisi geopolitik perang Rusia-Ukraina serta Israel-Palestina menyebabkan terjadinya gangguan supply chain dan penurunan ekspor karena terjadi pergeseran prioritas oleh masyarakat di Eropa maupun AS," kata dia melalui keterangan resmi di keterbukaan informasi BEI, Sabtu (22/6).
Di tengah masalah itu katanya, Indonesia malah kebanjiran produk tekstil di China. Weilly menyebut situasi geopolitik dan gempuran produk China masih berlangsung, hingga penjualan belum pulih.
"Kendati, perusahaan tetap beroperasi dengan menjaga keberlangsungan usaha serta operasional dengan menggunakan kas internal maupun dukungan sponsor," jelasnya.
Segendang sepenarian dengan Welly, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Danang Girindrawardana mengatakan maraknya PHK di industri tekstil disebabkan kondisi global yang masih tidak baik-baik saja. Imbas kondisi itu, daya beli masyarakat dunia lesu karena lonjakan inflasi.
Selain inflasi, kondisi global diperburuk dengan perang Israel - Palestina. Perang berdampak pada jalur pelayaran.
Imbasnya, kapal yang mengangkut produk tekstil harus memutar. Hal itu katanya, membuat ongkos atau biaya pengapalan meningkat sebanyak lima kali lipat.
Karenanya industri menahan pengiriman barang yang melewati kawasan tersebut. Imbasnya, pasokan menumpuk. Salah satu penumpukan terjadi di China sebagai produsen tekstil dan produk tekstil terbesar di dunia.
"Kondisi ini mengakibatkan dunia kelebihan pasokan termasuk Tiongkok sebagai produsen TPT terbesar di dunia. Kelebihan pasok ini membanjiri negara-negara yang lemah dalam menerapkan perlindungan perdagangan salah satunya Indonesia,".
Danang mengatakan penurunan permintaan membuat perusahaan mau tidak mau melakukan rasionalisasi dan efisiensi pada jumlah tenaga kerjanya. API mencatat hingga Mei 2024, total PHK yang terjadi di industri tekstil kurang lebih 10.800 tenaga kerja.
Sumber : CNN