Sri Mulyani Bagikan 6 Kengerian Global, Warga RI Siap?

 

Jakarta - Proyeksi ekonomi dunia masih gelap. Bahkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga mewanti-wanti tantangan dan risiko yang dapat berdampak pada ekonomi dalam negeri.

"Kami sudah sampaikan lingkungan global masih dinamis dan tantangannya makin tinggi," ungkap Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR RI, dikutip Sabtu (22/6/2024).

Ia menjelaskan setidaknya ada enam tantangan besar yang harus dihadapi dunia ke depan. Mulai dari suku bunga yang tinggi, restriksi perdagangan yang semakin ketat, volatilitas harga komoditas, ketegangan geopolitik, menuanya populasi dunia, hingga dampak buruk dari perubahan iklim.

"Kita lihat geopolitik yang disebabkan perubahan besar dan bahkan membuat tatanan ekonomi baru, no body knows. Restriksi perdagangan baru yang muncul pada 2021 melonjak. Pada 2023 ada 3000 trade restriction diberlakukan dan nilainya nggak kaleng-kaleng," ujar Sri Mulyani.

Tantangan ini ada yang bersifat ekonomi, seperti inflasi. Lonjakan inflasi di beberapa negara khususnya negara maju direspons dengan kenaikan suku bunga acuan. Kini posisinya suku bunga acuan berada di level yang tinggi dalam waktu yang lama karena inflasi tak kunjung reda.

"Implikasi dari kebijakan di negara-negara maju untuk respons inflasi tinggi likuiditas ketat dan suku bunga meningkat sebabkan tekanan capital outflow dan menimbulkan biaya utang atau cost of borrowing yang meningkat ini dialami semua negara baik di mana mereka menaikkan suku bunga seperti di AS dan Eropa maupun spillover dunia," jelasnya

Berikut ini beberapa hal yang menjadi kekhawatiran Sri Mulyani terhadap situasi global.

1. Suku Bunga Tinggi

Inflasi tinggi khususnya pasca perang antara Rusia dan Ukraina di awal 2022 membuat harga-harga barang terpantau melonjak signifikan.

Dalam menekan inflasi tersebut, kebijkan moneter ketat dari berbagai bank sentral khususnya di negara maju diikuti dengan suku bunga yang tinggi bahkan dalam jangka waktu yang lama (high for longer).

Sebagai contoh, kenaikan suku bunga Amerika Serikat (AS) terjadi dengan cukup signifikan sejak Maret 2022 yang naik 25 basis poin dari 0-0,25% menjadi 0,25-0,5%.

Dalam 1,5 tahun kemudian, suku bunga bank sentral AS (The Fed) terpantau berada di angka 5,25-5,5% atau naik 5% (500 basis poin/bps).

Kenaikan ini memberikan dampak kepada negara-negara lainnya mengingat AS merupakan negara dengan perekonomian terbesar di dunia yang tercermin dari nilai Produk Domestik Bruto (PDB).

Negara maju hingga negara-negara berkembang turut menaikkan suku bunganya yang pada akhirnya menekan perekonomian masing-masing negara.

Implikasi dari kondisi kebijakan dari negara maju terhadap negara berkembang khususnya Indonesia yakni likuiditas ketat dan suku bunga yang meningkat serta menimbulkan biaya utang atau cost of borrowing yang meningkat.
Lonjakan cost of borrowing tidak hanya memberatkan perusahaan saat meminjam tetapi juga banyak negara yang hendak mengeluarkan surat utang atau meminta pinjaman.

Suku bunga Bank Indonesia (BI) tercatat mengalami kenaikan sejak Agustus 2022 dari 3,5% menjadi 3,75% dan dilanjutkan hingga pada Mei 2024 berada di angka 6,25%.Posisi ini merupakan yang tertinggi sejak Juli 2016 atau sekitar delapan tahun terakhir.


2. Tensi Geopolitik Meningkat

Sri Mulyani juga menjelaskan bahwa tensi geopolitik yang semakin tinggi serta fragmentasi dan proteksionisme menimbulkan unpredictability atau ketidakpastian arah dari perdagangan dan investasi karena seluruh negara berjaga-jaga.

Dalam setahun terakhir saja, situasi geopolitik terus memanas di Timur Tengah mulai dari perang Hamas Israel, konflik di Laut Merah, hingga konflik Israel-Iran.

Ketegangan geopolitik antara AS dan G7 dengan China dan Rusia juga memanas dan akan berdampak besar terhadap stabilitas politik dan ekonomi dunia.

Di pasar keuangan, ketegangan geopolitik akan membuat investor menahan diri atau malah mengurangi risiko dengan meninggalkan investasi di Emerging Markets.

Di investasi langsung, ketegangan geopolitik akan membuat investor menahan diri atau mengurangi ekspansi bisnis. Padahal, Indonesia membutuhkan banyak aliran dana segar untuk menggerakkan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja.

Dari sisi investasi saja, Pemerintah menetapkan target investasi pada 2025 sebesar Rp 1.750 triliun, naik dari target pada 2024 sebesar Rp 1.650 triliun. Namun, laju pertumbuhan target itu hanya 6,06%. Jauh lebih lambat dari kenaikan target 2024 yang tumbuh 17,87%, karena pada 2023 targetnya Rp 1.400 triliun.


3. Harga Komoditas Alami Volatilitas

Ketegangan geopolitik yang berganti-ganti pada akhirnya akan berdampak kepada permintaan harga komoditas. Terlebih, wilayah yang terlibat konflik seperti Timur Tengah dan Rusia adalah penyuplai terbesar komoditas seperti minyak mentah dan gas.

Harga minyak Brent contohnya pada 2014 sempat melonjak ke US$115 per barel kemudian anjlok pada 2016 menjadi US$28 per barel. Harga minyak melonjak pada 2014 karena ketegangan di Irak setelah militan mengambil alih beberapa wilayah dan menyerang kilang.

Bahkan harga minyak sempat kembali ambles ke level terendah di dalam histori harga minyak selama lima dekade yakni di posisi US$23 per barel pada 2020 karena ambruknya ekonomi dunia akibat pandemi Covid-19.

Dalam waktu kurang dari dua tahun, harga minyak terbang ke level US$120 per barel karena terjadi perang Rusia dan Ukraina atau naik lebih dari 400%.

Contoh lain adalah saat harga minyak jatuh dari sekitar US$ 100 pada 2014 lalu langsung ambruk ke US$ 40 per barel pada 2016. Anjloknya harga minyak membuat pendapatan negara jatuh sehingga defisit melebar.

"Ini (turunnya) cepat sekali dalam 1-2 tahun. Kulo nuwunnya sangat pendek banget dan kemudian langsung jatuh," ujar Sri Mulyani.

Begitu pula dengan harga komoditas minyak sawit yang mengalami volatilitas tinggi bahkan melonjak hingga sembilan kali dalam kurun waktu singkat. Hal-hal inilah yang pada akhirnya memberikan dampak kepada pendapatan negara.

Contoh terbaru adalah lonjakan harga komoditas pada 2022. Pada tahun tersebut pemerintah mendapatkan tambahan penerimaan sekitar Rp 420 triliun karena lonjakan harga batu bara, harga minyak, hingga kelapa sawit mentah setelah perang Rusia-Ukraina meletus.

Namun, pendapatan negara dari volatilitas harga komoditas diperkirakan turun jauh pada tahun ini karena ketegangan Rusia-Ukraina yang melandai.

4. Restriksi Perdagangan

Perang dagang telah terjadi dan mengalami eskalasi yang cukup signifikan.

Jumlah restriksi dagang yang diberlakukan terutama antara AS dan China terdapat 982 restriksi yang terjadi pada 2019. Selanjutnya pada 2021 merangkak naik menjadi 2.491 restriksi. Pada 2022 menjadi 2.845 dan pada 2023 kembali naik menjadi 3.000 restriksi perdagangan dengan nilai yang sangat besar.

Berdasarkan U.S. Bureau of Economic Analysis, nilai impor barang AS dari China meningkat dari sekitar US$100 miliar pada tahun 2001 menjadi lebih dari US$400 miliar pada tahun 2023.

5. Perubahan Iklim

Perubahan iklim yang terjadi secara drastis telah dirasakan oleh hampir seluruh negara di dunia dan berujung pada dampak negatif terhadap perekonomian suatu negara.

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menjelaskan bahwa sejak 2016 hingga 2022, realisasi belanja aksi perubahan iklim pemerintah pusat mencapai US$37,9 miliar atau lebih dari Rp600 triliun.

6. Populasi yang Semakin Menua

Sejumlah negara kini tengah menghadapi ancaman aging population, seperti Jepang dan Korea Selatan. Kondisi ini akan berdampak pada visi ekonomi dan dampaknya ke global.

Sumber : CNBC 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel