Muncul Fenomena Baru, Leasing Perketat Kredit Motor-Mobil, Ada Apa?

 

Jakarta - Lembaga pembiayaan atau leasing mengakui sedang pengetatan dalam pengajuan kredit belakangan ini. Alasan utama leasing melakukan pengetatan karena melihat daya beli masyarakat yang semakin rendah. Dampak kebijakan leasing itu berpengaruh pada anjloknya penjualan kendaraan baik motor maupun mobil di Indonesia.

Berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), data wholesales atau penjualan dari pabrik ke diler selama Januari-Februari 2024 hanya 140.274 unit. Angka ini jeblok 22,6 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebanyak 181.329 unit.

"Pengetatan kenyataannya saya rasa itu benar, karena kenapa? Seleksi alam. Kita proses edukasi juga, masyarakat punya keinginan membeli kendaraan tapi mampu nggak? Kita dengar, baca ada penurunan daya beli kita sensitif, bahwa harga bapok juga naik, beras, gula naik. Itu akan jadi perhitungan kami terhadap kebutuhan dari income yang dia dapat, kita simulasikan bisa bayar cicilan atau tidak?" kata Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno, Kamis (28/03/2024).

Faktor lainnya ialah masih banyak masyarakat yang belum memiliki kesadaran terhadap kewajibannya dengan cara menghindari pembayaran. Sebelum berlakunya Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) atau lebih dikenal BI Checking, maka 1 orang bisa dengan mudah mengajukan pinjaman ke beberapa leasing sekaligus meskipun bermasalah. Namun setelah SLIK berlaku maka akan terlihat track record-nya.


"Kalau sekarang tercatat jadi konsumen yang melarikan diri, sedang kredit motor atau mobil menghindari pencarian debt collector, kadang kita nggak tau kendaraannya dimana, bertahun-tahun orang kabur kendaraan susah dicari, kaya kemarin di Palembang tau-tau kendaraan udah berpindah tangan," kata Suwandi.

Pada akhirnya yang rugi adalah debitur karena tidak bisa lagi mengajukan pinjaman. Bagi leasing juga rugi, namun sekali kerugian itu menjadi alat yang cukup untuk memblokir debitur dari akses pinjaman ke depannya.

"Dia resiko kan diri kredit 1 motor 1 mobil, kalau dia muda masih produktif mau KPR pasti ditolak, bukan hanya di perusahaan kami doang. Jadi sebagai pembelajaran masyarakat harus tahu kalau berani utang, bayar utangnya, cicilan harus dibayar. Saat nggak mampu membayar utang jangan lari-lari cantik, kabur, bahkan jangan dijual, wong BPKB masih di kita dengan dalih STNK atas nama saya," kata Suwandi.

Praktek illegal itu kerap terjadi dan mirisnya banyak masyarakat berani membeli kendaraan yang belum lunas di leasing. Padahal, BPKB kendaraan masih di tangan leasing atau bank sampai barang tersebut lunas.

"Masyarakat kita beli, dia pikir beli murah, yang beli jadi penadah secara hukum pidana karena beli nggak secara sah dari kepemilikan tersebut. Yang jual, debitur kena pidana mengalihkan kena Pasal Fidusia UU pasal 36. Mati perdata dia ya udah selesai. Rata-rata orang yang macet kredit paling menipu sekali perusahaan keuangan tapi nggak bisa lagi dia. Seumur hidup nggak bisa dapat pinjaman," katanya.

Atas praktek ini maka dapat dikenakan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Fidusia, berikut isinya:

"Pemberi Fidusia yang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) yang dilakukan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Penerima Fidusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah)."

Sumber : CNBC 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel