Analisis Debat Terakhir Capres
Monday, February 5, 2024
DEBAT pamungkas Pilpres 2024, Minggu (4/2/2024) malam, menyisakan tiga kesan kental: kering, datar, serta damai tentram.
Walau tema yang dibahas tak seberat debat sebelumnya khususnya debat kedua, Jumat (22/12/2023), soal ekonomi bisnis, tapi tema kesejahteraan rakyat yang dekat masyarakat tak membuat debat semalam jadi lebih menarik.
Tema sekitaran masyarakat Indonesia hari ini: Pendidikan, Kesehatan, Kebudayaan, Tenaga Kerja, SDM, Teknologi Informasi (TI), dan Inklusi, relatif disajikan Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo dengan banyak sepakat dan sepahamnya. Setidaknya bagi penulis, membuat keseruan dinamika pertukaran gagasan dari mereka tak didapat lagi seperti dua debat capres sebelumnnya.
Saat babak pembuka, ketiga calon punya program originalitas yang menarik bagi rakyat, khususnya pada bidang pendidikan dan kesehatan.
Prabowo konsisten dengan program "kojo" eksisting Makan Siang Gratis yang berlandaskan Jokonowics. Ganjar dengan kesejahteraan untuk pendidik serta perbaikan sarana kesehatan. Sementara Anies menekankan perlunya akses yang setara dan terbuka untuk seluruh program kesejahteraan rakyat sebagaimana diajarkan founding father di BPPUPKI. Sisi menarik segmen ini adalah kata-kata "mutiara" sisipan terutama yang dikirim sekuensiel oleh Anies dan Ganjar kepada Prabowo.
Ganjar menyebut semua kebijakan bidang tersebut harus disertai proses demokratisasi lebih baik dengan tidak ada konflik kepentingan sebagaimana dicontohkan mundurnya Mahfud MD sebagai Menko Polhukam.
Terlebih keresahan para tokoh sudah disuarakan, seiring dengan para guru besar dan sivitas akademika dari berbagai kampus, sehingga Ganjar memungkasi dengan penekanan, "Tuanku adalah rakyat, jabatan ini hanya mandat." Sementara Anies menyentil soal bansos yang disesuaikan dengan kepentingan pemberi, bukan disesuaikan dengan kepentingan penerima. Sementara etika dan nilai persatuan diterapkan dengan benar, bukan untuk kepentingan pribadi, kelompok, apalagi keluarga.
Tenis adalah ketika ada lancaran bola percakapan, maka lawan debat akan memukulnya kembali. Bola tenis jelas dilancarkan penuh inisiatif oleh Ganjar dan Anies, sementara Prabowo model boling karena "apesnya" dapat giliran pertama. Pada segmen kedua, setidaknya di mata penulis, keseruan di dua debat Capres sebelumnya tak menyala lagi.
Adu argumen sampai saling lempar komunikasi verbal tak nampak lagi, membuat bagian ini terasa datar-datar saja. Pertanyaan panelis bidang kesehatan, TI, dan budaya, dijawab dan direspons antarkandidat tanpa letupan, apalagi kejutan berarti.
Jawaban yang diberikan relatif sama atas pertanyaan para panelis yang diberikan, hanya cara pandang dan pendekatannya saja yang tak seragam.
Kemasan jawaban terasa bervariasi, namun ditilik-tilik lagi, subtansinya seragam terutama atas pertanyaan bidang TI dan Kesehatan. Khusus pertanyaan dan jawaban kebudayaan, "tumben-tumbennya" Anies dan Prabowo kali ini akur harmonis. Anies menyebutkan perlunya dibentuk Kementerian Kebudayaan, agar semuanya lebih fokus ditangani, dan gayung bersambut, hal itu diamini oleh Prabowo.
Sementara Ganjar cukup berbeda, kali ini dengan mengaitkan apa yang dialami budayawan Yogyakarta, Butet Kertaredjasa, "Masa takut Butet, budayawan cukup difasilitasi, sehingga birokrasi itu tinggal duduk dan lihat awasi hasilnya."
Untuk segmen kedua ini, ketiga kandidat relatif bisa mempraktikkan teori Joseph DeVito (2015) tentang teori pidato demonstratif. Yakni jenis pidato yang lebih dalam memaparkan sisi “What, Where, Who, When, Why, dan How”, sehingga orator menyampaikan cara-cara melakukan sesuatu. Ketiganya berpengalaman di pemerintahan, baik level pusat maupun pemerintahan daerah, sehingga jawaban mereka bisa bercerita bukan saja apa pangkal masalahnya, tapi juga bagaimana membereskannya.
Kesan membosankan, super datar terasa betul pada segmen ketiga dan kedua. Apa yang dijawab Anies dan Ganjar, cenderung disepakati Prabowo, dan demikian pula sebaliknya. Padahal ini babak responsi, sesuatu yang bikin debat lebih hidup di dua debat mereka sebelumnya. Namun semalam, selain bilang sepakat, para kandidat cenderung hanya menambahkan jawaban sebelumnya.
Tak ada drama emosi mencuat, tak ada jargon unik debat sebelumnya yang dikenang sampai hari ini (Sorry Ye, Omon Omon, Wakanda No More Indonesia Forever, dst), juga tak ada serangan-serangan jab data seperti pupuk langka di Jateng hingga tanah ratusan ribu hektare milik Prabowo.
Walau mungkin dari sisi tontonan jelas "menurun" dibanding debat sebelumnya, tapi dari sisi tuntunan, debat semalam layak dirujuk. Sebab, tak hanya berpengetahuan (logos), tapi juga kredibilitas (pathos) dan kematangan emosi (ethos), ketiganya itu relatif lebih baik dari dua debat sebelumnya.
Suasana adem, damai, dan saling mendukung pertanyaan, berhamburan dilakukan ketiga kandidat. Apa ada semacam konsensus di awal acara, dari KPU dan ketiga paslon, agar mencontohkan komunikasi publik yang lebih bersahabat? Wallahu a'lam. Suasana lebih hidup sedikit hanya terjadi pada segmen terakhir, khususnya saat Ganjar dan Anies bersambut gayung bahasan soal bantuan sosial (Bansos) yang sudah dan segera disusul pemberiannya oleh pemerintahan Jokowi.
Sumber : Kompas